Oleh : Jondri Akmal
Ahli bedah panutan itu telah pergi keharibaan-Nya dan pulang tak kembali lagi.
Ayah, demikian pula anak-anak murid memanggilnya.
Kini benar-benar terbujur di bawah selimut putih.
Telah gugur seorang ahli bedah panutan itu
Telah tujuh puluh lima tahun lamanya ia menaruh bakti pada pertiwi
Sudah ribuan operasi dilakukannya
Tak terhitung lagi rasa bahagia pasien-pasiennya.
Ayah, sang ahli bedah panutan itu,
Di tandu ke tunggul hitam, terbalik tanah merah dan ditaburi bunga kamboja
diiringi isak tangis.
Raungan sirene
Dan manusia yang menyemut
Berbaju putih dan hitam
Dalam wajah yang sedih dan muram
Bahkan Langitpun kelam
Dan air turun membasahi tanah merah di tunggul hitam
Dari ranah minang engkau datang
Gelorakan semangat juang di medan kesehatan
Dari puskesmas sampai rumah sakit engkau gadangkan.
Ayah, selain pisau bedah sebagai penamu, engkau juga penulis yang menorekhan pisau bertintamu di atas kertas.
Dua novel mu sudah menghentak nusantara dan satu novelmu tergantung di awang-awang
Gugur bungaku di taman hati, keharibaan pertiwi. Harum semerbak menambah sari. Pembela kesehatan sejati telah pergi.
Ahli bedah panutan itu pulang membawa jejak yang tidak pernah kita lupakan
Jejak langkah yang jadi panutan
Selamat jalan sang ahli bedah, selamat jalan ayah. Kami akan semaikan benih kearifan yang engkau tanam bagi kemasyalatan dunia kesehatan.
Ahli bedah, nama mu akan tetap terpatri di hati kami.
-Siak, Mei 2024-
